Melahirkan Doktor Unggul ala Perguruan Shaolin


Foto: Ditjen Sumber Daya Iptek Dikti
Mengapa saya sebut seperti perguruan shaolin? Karena mereka ini diibaratkan adalah unggulan yang akan menjadi master kungfu. Artinya, dilatih habis-habisan dan mengikuti segala kegiatan riset, termasuk dididik secara disiplin. Mereka ini punya kontrak pada PMDSU, jadi tidak bisa disamakan dengan mahasiswa S-3 reguler
“Seharusnya program Doktor di Indonesia seperti ini, Saudara! Ini yang saya tunggu sejak lama,” begitu kata Prof. Dr. Hamdi Muluk membuka obrolan seputar Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang digagas Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti).
Saat ini, Profesor Psikologi dari Universitas Indonesia (UI) itu menjadi promotor bagi dua mahasiswa peserta program PMDSU batch II yang dimulai sejak 2015, dan akan lulus pada 2019 mendatang. Bagi Hamdi, momentum ini merupakan kesempatan untuk menerapkan fast track Doktor seperti di kampus-kampus berkelas dunia.
Pria kelahiran 1966 itu menjelaskan, di luar negeri, gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) diraih dalam satu paket, yakni dari Master hingga Doktor. Lulusannya, sambung dia, akan menjadi seorang akademisi yang berperan mengembangkan keilmuan dan penelitian di Perguruan Tinggi. Mereka juga terkualifikasi bukan berdasarkan proses seleksi di program studi Doktor, melainkan pilihan dari Profesor pengampunya.
“Basisnya pengembangan ilmu yang melekat pada laboratorium. Jadi, dengan sendirinya merekrut mahasiswa Doktor yang masuk untuk ikut serta dalam aktivitas di dalamnya. Sistem ini persis dengan PMDSU. Mahasiswa yang melamar diterima karena wewenang Profesor. Sistem yang sudah berlaku puluhan tahun di luar negeri, tetapi baru diadopsi di program PMDSU,” paparnya.
Selama menjadi promotor, Hamdi menyebut ada perbedaan mendasar dalam membimbing mahasiswa S-3 reguler dengan peserta program PMDSU. Sebab, dia menerapkan pola perguruan shaolin, khusus bagi dua mahasiswanya itu.
“Mengapa saya sebut seperti perguruan shaolin? Karena mereka ini diibaratkan adalah unggulan yang akan menjadi master kungfu. Artinya, dilatih habis-habisan dan mengikuti segala kegiatan riset, termasuk dididik secara disiplin. Mereka ini punya kontrak pada PMDSU, jadi tidak bisa disamakan dengan mahasiswa S-3 reguler,” ucapnya.
Meski begitu, di awal program ternyata Dosen yang sudah punya pengalaman mengajar lebih dari 15 tahun itu sempat merasa miris ketika dinyatakan lolos menjadi salah satu promotor PMDSU. Pasalnya, dari 149 promotor yang terpilih, 148 orang di antaranya adalah Profesor dengan latar belakang hard science atau ilmu pengetahuan alam. Sedangkan dia adalah satu-satunya Profesor dari rumpun ilmu sosial. Alhasil, seluruh peserta dengan minat ilmu sosial pun mendaftarkan diri kepada dirinya. Padahal, Hamdi sendiri hanya spesifik untuk bidang psikologi.
“Ada yang antropologi, bahkan sastra juga mendaftar ke saya. Itu karena tidak ada lagi profesor ilmu sosialnya,” tambahnya.
Rekam jejak promotor pada program PMDSU, tutur Hamdi, diseleksi secara ketat oleh Kemristekdikti. Beberapa poin yang dinilai, meliputi h-index dari karya ilmiah yang dihasilkan, keberadaan laboratorium, aktivitas sehari-hari, jumlah publikasi, dan beberapa aspek lainnya. Bahkan, dibentuk juga tim assessoryang melakukan kunjungan langsung guna melihat produktivitas calon promotor.
“Saya menduga kendala ada pada h-index yang belum dipenuhi oleh Profesor ilmu sosial. Atau memang Kemristekdikti ke depan perlu menelusuri kembali jejak para Profesor ilmu sosial ini, tetapi tentu tetap harus berdasar standar yang tinggi,” terangnya.
Hamdi mengaku, kala itu diminati hampir oleh 200 peserta program PMDSU. Sayangnya, yang bersinggungan dengan ilmu psikologi tak lebih dari 10 pelamar. Namun, pria yang juga menjadi editorial board di sejumlah jurnal internasional tersebut senang atas tingginya minat Sarjana muda atas program PMDSU ini.
“Tetapi memang keterlaluan jika calon mahasiswa S-3 tidak tertarik dengan program ini. Mereka akan mendapat beasiswa. Kemudian dana riset Rp 60 juta per tahun yang dikelola oleh Profesornya. Selain itu, mereka juga akan dikirim ke laboratorium mitra di luar negeri untuk penelitian minimal enam bulan. Tawaran yang menantang tapi juga menyenangkan untuk para peneliti,” ujarnya.
Dua mahasiswa PMDSU yang menjadi bimbingan Hamdi, yakni Joevarian dan Muhammad Abdan Shadiqi. Sesuai dengan konsep perguruan shaolin yang diusungnya, keduanya menjalani sistem pendidikan Doktor layaknya di luar negeri. Setiap hari, mereka akan pergi ke laboratorium psikologi politik di lantai 2 Gedung B Fakultas Psikologi UI. Bahkan, Hamdi mengikutsertakan Joevarian dan Abdan dalam me-reviewjurnal-jurnal internasional.
Cara ini, lanjut Hamdi, dilakukan supaya keduanya terlibat langsung dan mengerti bagaimana perjuangan menerbitkan sebuah jurnal bereputasi. Sebagai Dosen yang lebih dominan mengajar mahasiswa pascasarjana, dia juga selalu memotivasi bimbingannya bahwa meneliti ilmu sosial tidaklah sesulit yang dibayangkan.
“Mereka saya minta mengelola jurnal Hubs-Asia, yaitu menjadi pekerja administrasinya. Tugasnya, screening awal, lalu mengomunikasikan kepada chief editor diterima atau tidak. Supaya tahu lika-likunya, kan nantinya mereka juga harus menerbitkan dua jurnal. Dengan begitu, mereka tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan peneliti lainnya,” katanya.
Ketua Laboratorium Psikologi Politik, Fakultas Psikologi UI itu mengungkapkan, masa tersulit pada pembuatan jurnal adalah ketika revisi. Peneliti harus tahan uji, baik fisik, tenaga, sampai mental. Musababnya, bukan tak mungkin, mitra bestari atau peer review meminta berkali-kali revisi sampai menghasilkan jurnal yang sempurna. Kendati demikian, Hamdi optimis, potensi yang dimiliki oleh dua mahasiswa program PMDSU itu mampu menerbitkan publikasi sebagaimana yang diminta dalam kontrak.
“Saya sangat senang mereka ini masih muda, berpotensi, punya komitmen dan passion yang jelas, serta idealis. Mereka ini akan jadi Dosen atau peneliti. Nantinya mereka akan melakukan terobosan-terobosan. Hal inilah yang juga dilakukan para peraih Nobel,” tuturnya.
Pelaksanaan program PMDSU, tegas Hamdi, harus dilanjutkan. Apalagi jika kampus di Tanah Air ingin bebenah menjadi research university, sudah sepatutnya melaksanakan sistem pendidikan Master dan Doktor seperti pada PMDSU. Dia juga berharap agar pada batch ketiga nanti jumlah Profesor bidang ilmu sosial meningkat untuk mengakomodasi Sarjana unggul potensial yang belum memperoleh kesempatan. Sehingga, jangan sampai ada anggapan bahwa rumpun ilmu sosial dianaktirikan dengan kelompok ilmu alam.
“Program PMDSU ini perlu ada kesinambungan. Program ini membuat laboratorium lebih hidup. Karena mahasiswa reguler susah diajak ke sini, mereka lebih memilih pulang setelah kuliah selesai. Padahal, sebagai mahasiswa S-3 harusnya ya terus meriset. Itulah keunggulan dari program PMDSU,” simpulnya. (ira)
أحدث أقدم